PESILAT CINTA
Jam menunjukan pukul 13.00. Matahari bersinar dengan garangnya. Sama sekali tak mempedulikan ku yang sedang berjuang. Aku terus berlari dengan kecepatan stabil. Tak menghiraukan rasa sakit di kaki ku yang kini sudah melepuh karna menginjak aspal yang panasnya bukan main. Nafas ku terengah karena sudah berlari 4 km. Sudah tak terhitung berapa kali aku berhenti untuk mengambil nafas. Dari jauh, kulihat beberapa orang juga sedang berlari semakin menjauhi ku. Dan saat aku melihat ke belakang, masih banyak teman-teman ku yang sudah kepayang berlari sejauh itu di terik matahari. Kami semua sama, hanya menggunakan seragam pencak silat Merpati Putih, tanpa menggunakan alas kaki. Tujuan kami pun sama, yaitu berhasil naik tingkat. Ini adalah ujian awal kenaikan tingkat perguruanku. Merpati Putih.
Aku tersentak kaget saat cowok sok pintar itu mendekati ku. Dhika lagi. Entah ceramah apa yang akan di berikan pada ku kali ini.
“Eh, jadi cewek lemah banget mbak, masa baru lari segini aja sudah sepucat mayat” kata Dhika mengganggu ku lagi.
“Mas, lebih baik Mas nyimpen tenaga aja deh. Dari pada ngomentarin aku terus” kata ku kesal dengan sikapnya yang seperti itu.
“Mbak Chiky perhatian banget sih. Tenang aja mbak, tenaga ku ga bakal habis hanya karna hal seperti ini. Aku kan kuat. Buktinya, dalam hal lari, Mbak ga pernah ngalahin aku kan” katanya bangga sambil terus menyamai langkahnya dengan ku.
“Siapa juga yang perhatian, ngarep lu!” kata ku sambil meninju bahunya.
“Ah bilang aja Mbak Chiky itu perhatian. Kok susah amat sih nyatain perhatiannya.” Kata Dhika semakin membuat ubun-ubun ku memanas, sepanas udara siang itu.
“Oh, jadi Mas Dhika ke sini mau ngajakin tanding lari. Okeh, aku terima.” Kata ku dengan tegas. Sayangnya kata-kata itu langsung ku sesali dalam hati. Apakah aku bisa mengalahkan Dhika yang jago lari. Astaga, ini baru namanya senjata makan tuan.
“Wih aku salut sama keberanian mu untuk bertanding lari dengan ku. Sampai jumpa di garis finnish ya” katanya langsung berlari sprint mengalahkan ku. Aku melongo melihat kepergianya yang seperti Jaelangkung. Datang tak di jemput, pulang tak di antar. ‘Dasar kutukuprettt..’ umpat ku dalam hati. Aku mulai berlari untuk menyusulnya.
Segenap tenaga yang aku miliki aku kerah kan. Aku terus berlari hingga aku sudah hampir berjarak beberapa meter dari Dhika. Dhika cowok menyebalkan yang menjadi kakak tingkat ku. Dia kelas 1 SMA. Di perguruan ku, semua wajib memanggil laki-laki dengan sebutan ‘Mas’ dan perempuan ‘Mbak’ tak peduli walaupun dia lebih tua ataupun muda dari pada kita. Aku sudah susah mengatur nafas. Sedangkan Dhika santai sekali mengatur kestabilan langkahnya.
Akhirnya Dhika sukses masuk garis finnish lebih dulu dari pada aku. Dari kejauhan, ku lihat ia meloncat-loncat kegirangan sambil melambaikan tanganya ke arah ku. Tiba-tiba tubuh ku lemah. Mata ku berkunang-kunang, dan ada sesuatu yang mengalir di hidung ku. Saat ku lihat ternyata aku mimisan. Aku terus berlari. Hingga saat sekitar tinggal 5 meter dari garis finnish, aku limbung dan Dhika berlari seperti kesetanan ke arah ku. Sebelum aku mencapai tanah, ia menangkap ku dalam pelukanya, lalu semuanya gelap.
~)))*(((~
Saat aku terbangun, aku sedang berada di sebuah Musola, ku kerjapkan mata ku, teryata aku berada di Musola Sekertariat Merpati Putih. Ku lihat Dhika, Heru, Rama, Ima, Indah dan Nisa menggelilingi ku. Mereka tersenyum sambil mengompres kepala ku dengan sesuatu yang dingin.
“Sudah sadar Mbak? Enak tidurnya?” kata Dhika melambaikan tangan ke depan wajah ku. Aku hanya tersenyum kecil melihat perhatian mereka semua merawat ku. Dalam Merpati putih kami sangat bersikap kekeluargaan, dan tentunya kasih sayang sebagai hal utama.
“Mimpi apa tadi Mbak Chiky? Kok yang di panggil Mas Dhika terus” kata Nisa mencubit pipi ku gemas.
“Ga tau. Emang aku manggil Mas Dhika ya? Berari aku mimpi buruk Mbak” kata ku bangun dari posisi tidur ku dengan senyuman lebar.
“Bilang aja ngefans berat sama aku. Hehe.. Oh ya, Selamat ya Mbak Chiky, nama Mbak jadi yang pertama sampai finnish loh kalau untuk urutan perempuan” kata Dhika memberiku selamat.
“Masa sih?” aku tak percaya. “Udah ah, jangan buat aku GR duluan” kata ku sambil menuang air dari dispenser.
“Ya sudahlah, sana jangan lupa ambil nafas penyegaran dulu. Karna sebentar lagi pematahan beton mau di mulai” kata Dhika. Aku melirik Dhika sekilas tanpa menjawab, lalu melakukan nafas penyegaran untuk penyembuhan. Setelah itu, kami makan siang dan shalat, karna sebentar lagi ada Ujian Power pematahan Beton.
Ku lihat dari kejauhan beberapa kakak tingkat ku sudah mulai melakukan pematahan beton. Hati ku sudah mulai memacu genderang. Seakan udara menjauhi ku. Tapi aku yakin bisa, karna aku selalu berlatih dengan sungguh-sungguh.
“Takut ya Mbak?” Tanya Dhika mengejek ku lagi.
“Gag tuh” kata ku ketus. Malas menanggapi tanggapannya.
“Ko mukanya pucat?”
“Ga ko, mana? mana? ga ko,” kata ku menutupi kegugupan ku. “Sudahlah Mas, Mas Dhika itu latihan aja sendiri. Ngapain gangguin aku?” kata ku menyenggol lengannya pelan.
“Eh liat tuh, bentar lagi kamu maju. Sana ke depan! Good luck ya miss jutek” kata nya tersenyum manis ke arah ku. Aku pun maju dengan hati berdebar saat nomer urut ku di panggil, aku pun maju dengan kembangan burung elang ku. Sesampai di depan beton yang sudah di atur di atas kayu, aku bersiap. Menggunakan tendangan sabit ku untuk mematahkan dua beton yang tersusun rapi itu. Ku pusatkan perhatian, lalu dengan sekali tendangan, beton itu rubuh dan hancur beerantakan di iringi tepuk tangan teman-teman seangkatan ku. Beton kedua ku pecahkan dengan sodokan depan, beton ketiga dengan punggung siku ke bawah dan yang terakhir aku tak berhasil, karna memecahkan beton dengan kepala adalah kelemahan ku. Karena aku juga baru saja pingsan, jadi sulit memusatkan kekuatan ke kepala. Ada dua kesempatan dalam pematahan beton. Nisa maju karena giliranya. Sertelah Nisa, aku bisa mengulang mencoba mematahkan beton ku yang terakhir. Dhika datang lagi dan duduk di samping ku.
“Hanya satu yang bisa membuat mu berhasil, yakin dan lakukan dengan power yang ada. Pusatkan power itu ke kepala mu. Tatap betonya dan teguhkan dalam hati kamu bisa” kata Dhika membisikan tehnik pematahan beton dengan caranya. Aku mengangguk dengan senyum penuh arti kepadanya. Saat aku fikir-fikir, ternyata Dhika selalu ada untuk mensuport ku. Ia selalu mengejek ku untuk membuat ku terpacu.
Aku menatap Dhika dengan senyum kemenangan. Setelah aku mengikuti saranya, semua beton telah ku pecahkan. Dan ia juga tersenyum penuh arti ke arah ku. Aku senang sekali bisa memberikan yang terbaik.
~)))*(((~
Waktu sudah menunjuka pukul 2 dini hari. Udara dingin menusuk tubuh di sela kantuk yang menyerang begitu dahsyat. Sekarang saatnya Ujian Jurit malam. Berjalan dari malam hingga subuh dengan melewati banyak rintangan. Dengan baju silat dan sabuk silat yang terikat di pinggang, kami berjalan dari pukul 10 malam hingga sekarang di tegah dinginya malam. Tanpa alas kaki dan penghangatan yang cukup. Hanya berbekal satu buah senter satu kelompok. Kami kelompok II, dan karna menurut abjad nama ku dekat dengan Dhika, aku pun menjadi satu kelompok denganya. Yang jelas Dhika sebagai ketua kelompok, karna tingkatanya yang paling tinggi di antara kami.
Ku lihat Mbak Evi dan Debby terlihat pucat dan menggigil. Sedangkan Mbak Indah dan Tyas membantu mereka berjalan. Sekitar 15 meter di depan kami sudah terlihat sebuah kuburan besar.
“Teman-teman, siapkan mental kalian, pertempuran sesungguhnya segera di mulai” Dhika memberi aba-aba pada teman-teman anggota kelompok. Aku bergidik ngeri memejamkan mata ku membayangkan segala rintangan yang menghadang. Rupanya ini akan menjadi malam yang panjang. Mau tak mau, mata pun tak dapat terpejam karna takut.
“Mas Dhika, pasti kita di suruh masuk kuburan ini ya?” Tanya Indah, anak yang baru berabung dalam Pencak silat Merpati Putih ini.
“Siap-siap aja, ini gak akan mudah kita lewati” kata Mas Dhika melihat ke arah ku saat di depan kuburan.
“Heh kamu semua! Kesini!” kata seorang laki-laki berjaket hitam ke arah Mas Dhika.
“Kalian masuk satu-satu. Nanti saat di dalam kuburan, cari cahaya lilin dan isi kertas yang sudah di siapkan di sana. Arah jalanya kalian pegang saja tali yang sudah di bentang kan di depan kuburan ini. Hati-hati, jebakan maut menanti mu. Yang masuk ke jebakan maut tak dapat melanjutkan perjalananya.” katanya.
“Habis itu boleh keluar?” Tanya Evi.
“Mana ku tahu, liat aja nanti. Sudahlah ayo ketua kelompoknya masuk duluan. Kalian tunggu di sini” kata cowok itu. Aku menunggu giliran masuk. Walaupun ini bukan yang pertama bagi ku, tapi rintangan kali ini jelas lebih sulit dari pada yang dulu.
“Mbak Chiky silahkan masuk” Suara laki-laki itu mengagetkan ku.
“Senternya boleh aku bawa?” Tanya ku pada nya.
“Enak aja. Sana masuk” katanya merampas kasar senter yang ku bawa. Aku melangkah pelan memasuki areal perkuburan yang gelap gulita. Rasanya seperti menutup mata karna di dalam kuburan sama sekali tak ada cahaya. Aku telusuri tali yang bisa menuntun ku. Dada ku bergemuruh, berkali-kali aku berzikir. Pelan-pelan aku berjalan, karna tak tahu batu nisan siapa yang aku injak-injak.
“Asalamualaikum ya ahlil kubur.. jangan ganggu aku ya. Aku cuma numpang lewat. Kalau batu nisanya ke injak maafin ya. Kan gelap, aku ga bisa ngeliat. Terror aja yang punya ide beginian. Maaf ya.. permisi..” ucap ku pelan melawan rasa takut. Bebatuan di dalam kuburan tajam-tajam, membuat telapak kaki ku yang terluka semakin sakit. Saat aku menoleh ke samping, aku terkejut bukan kepalang. Seluruh badan ku gemetar, dan aku sulit mendapatkan udara. Rasanya dada ku pengap. Sosok berbaju putih bertengger di atas pohon kamboja kuburan yang tidak terlalu tinggi. Iapun mengeluarkan suara cekikikan yang tidak bisa di bilang indah. Mirip dengan film-film hantu.
“ALLAH HU AKBAR,,” aku berjalan tergesa-gesa tanpa mempedulikan apa yang aku lihat. Tiba-tiba kaki ku menyandung susuatu dan..
“Aaaaaa” aku terjatuh ke dalam lubang maut. Tapi syukurnya tangan ku masih berpegangan pada tali penuntun. Aku mencoba bangkit dan menarik talinya. Akhirnya, dengan segenap tenaga yang tersisa, aku berhasil keluar dari lubang maut yang di rancang seperti lubang kuburan. Dengan terenga-engah aku terduduk lemas di pinggir lubang. Saat menoleh ke kanan untuk mencari tali penuntun, aku melihat sosok putih itu makin mendekat. Tanpa pikir panjang, aku mengambil langkah seribu yang mengakibatkan tali penuntunya putus.
“Tamatlah riwayat ku. Talinya Putus. Sekarang mau kemana ya??” kata ku sambil menoleh kiri kanan, tiba-tiba dari kejauhan ku lihat cahaya lilin berpendar indah. Aku berjalan lagi ke arah cahaya itu, dan tiba-tiba di depan ku ada lubang seukuran 1x1 meter dan dari lubang itu keluar tangan-tangan mengerikan berwarna hitam dengan darah menetes di ujung tangan itu. Aku melompat dan tanpa sengaja menginjak salah satu jari hantu itu.
“Adowww.. Sompret lu! ” katanya tiba-tiba. Bukanya takut, aku tertawa pelan lalu melanjutkan perjalanan. Di depan sebuah kuburan yang masih bertanah merah, ada sebuah lilin dan sebuah kertas, tetapi tak ada pulpen di sana.. Di kertas itu ada sebuah tulisan tertulis dengan tinta merah.
*LANJUTKAN PERJALANAN MU DENGAN ARAH KE BARAT. JALAN TERUS HINGGA MENEMUKAN TEMPAT PEMBAKARAN MAYAT UMAT HINDU DI DEKAT JALAN BERCABANG. SEBELUM ITU BUBUHKAN TANDA TANGAN ANDA DI BALIK KERTAS INI DENGAN MENGGUNAKAN DARAH DARI JARI ANDA* Tulisan kertas itu bercetak tebal.
“Astaga.. siapa sih punya usul seperti ini. Gak tau namanya sakit apa” kata ku memaki pembuat usul. Ku lihat sebuah jarum tertusuk pada lilin, ku ambil dan ku tusuk kan di jari telunjuk ku. Aku meringis pelan dan mulai menulis tanda tangan di samping beberapa tanda tangan darah milik orang lain. Ku lihat ada tanda tangan Dhika juga. Tentu saja ia berhasil, hal seperti ini sudah biasa baginya. Pikir ku dalam hati.
Setelah itu aku melanjutkan perjalanan ke arah tempat pembakaran mayat umat hindu yang terletak tidak jauh dari kuburan. Suasana di kawasan bangunan itu sangat menyeramkan. Bau dupa yang menyengat membuat ku pusing, dan patung-patung melotot membuat suasana semakin mengerikan. Dari jauh ku lihat seorang laki-laki sedang duduk di atas motornya. Aku yakin itu orang dari anggota merpati putih, karna pakaian nya hitam-hitam.
“Mas, habis ini saya jalan ke arah mana?” Tanya ku pada laki-laki itu.
“Kamu ya, ga di ajarkan sopan santun apa! Gag pakai permisi lagi..” kata laki-laki itu garang.
“Maaf Mas” kata ku dengan terpaksa.
“Ulangi lagi!” bentaknya.
“Permisi Mas, mau numpang tanya. Habis ini saya lewat mana ya?” tanya ku dengan wajah kesal dan suara halus yang di buat-buat. Pengen aku jadikan samsak muka orang ini. Habisnya kesal banget. Umpat ku kesal.
“Nah gitu dong manis” kata orang itu sedikit merayu. ‘manis-manis pala lo peang! Eneg gue di bilang gitu’ kata ku dalam hati.
“Biar mata mu melek, sekarang push up 50 kali dan shit up 50 kali” katanya ketus. Terpaksa aku mengikuti perintah nya. Setelah menjalankan hukuman, aku di suruh berjalan ke arah selatan hingga ke tepi pantai.
~)))(((~
Saat tiba di tepi pantai, sudah banyak orang yang berkumpul di sana. Udara malam terasa makin menusuk tulang. Aku duduk di tepi pasir pantai dan ku dekap tubuhku untuk menghalau angin dingin. Kebanyakan orang-orang di sana sedang tertidur di pasir pantai yang lembab sambil menunggu perintah selanjutnya. Sekarang tenaga ku benar-benar sudah terkuras habis. Memang Ujian ini tak mudah di lewati, karna untuk tingkatan ku sulit mendapat kan lambang Merpati Putih untuk naik tinggkat. Untuk mendapat kan seragam saja, aku harus bertarung melawan 3 orang. Babak belur sudah jadi makanan sehari-hari ku di Merpati Putih. Tapi aku bernar-benar mencintai perguruan ku, di sini aku di ajarkan untuk menjadi semakin berani dan pantang menyerah.
Tak jauh dari ku, ku lihat orang yang selalu mengejek ku, tapi ejekanya membuatku menjadi semakin kuat dan bisa melakukan yang terbaik. Rupanya dia sedang tertidur di atas pasir dengan menutup wajahnya. Ide jahil ku muncul. Ku lempar segenggam pasir ke arahnya. Seketika ia terbangun dengan wajah siaga. Aku cepat-cepat menghadap lain agar tidak terlihat. Saat aku menoleh lagi, ia menunduk lagi. Ku ambil segenggam pasir lalu ku lempar untuk yang kedua kalinya. Ia terbangun lagi lalu menoleh ke kiri dan ke kanan untuk melihat siapa pelakunya. Aku menunduk lagi. Saat aku menoleh ternyata dia menunduk lagi, saat aku akan melempar pasir untuk yang ke tiga kalinya di terbangun dan memergokiku. Dan dengan reflex aku tetap melempar pasir ke wajahnya dan ia langsung menunduk. Tapi salah satu butiran pasir masuk ke matanya, dan ia meringis. Aku berlari ke arahnya.
“Aduhhh Mas,, maaf ya.. Maaf.. aku gak sengaja,, tadi cuman becanda Mas” kata ku sambil menggoyang-goyangkan tubuhnya yang jelas lebih besar dari pada aku. Aku bersihkan rambutnya yang penuh dengan pasir. “Sini aku liatin mas!” kata ku.
“Mata ku sakit tau. Ni lihat!” kata mas Dhika memperlihatkan bola matanya sambil mengerjap-ngerjap.
“Mana? Ga ada kok. Maaf ya,, maaf.. sakit ya??” kata ku khawatir. Ku lihat wajahnya yang putih dengan hidung bak perosotan. Dhika lumayan juga jika aku lihat dengan jarak sedekat ini. Ia menunduk lagi dan terdiam. Ku goyangkan badanya, tapi dia tak bergerak. “Mas Dhika marah ya? Mas?? Masa gitu aja marah? Mas??” tiba-tiba ia tertawa keras hingga berguling-guling di pantai.
“Hahahahaha,, selamat, ada berada di acara ‘Kena Deh’ hahaha” ternyata Dhika menjahili ku. Aku pun memukulinya pelan. Sambil tertawa renyah melihat tawanya yang menular. Senyumnya yang indah juga menggugah orang untuk ikut tersenyum.
~)))*(((~
Aku melanjutkan perjalanan. Dan kini sendiri lagi. Aku berjalan di pinggir pantai hanya di temani angin malam. Saat beberapa lama berjalan aku bertemu Dhika lagi.
“Mbak Chiky, sini! Tadi aku lihat di sana ada orang di bantai. Berarti sekarang saatnya pembantaian. Ikat sabuk mu keras-keras. Karna jika sabuk kita berhasil di rampas, kita gugur!” kata Mas Dhika terengah-engah.
“Aku takut. gimana sekarang?” Tanya ku dengan nafas mulai sesak.
“Tenang. Hanya itu yang kita perlukan sekarang” kata Dhika menguatkan ku.
“Tapi bagaimana kalau aku tidak bisa melawan mereka? Aku takut. aku benar-benar takut!” kata ku hampir menangis.
“Percayalah, aku tak akan membiarkan mereka melukai mu sedikitpun!”
“Benarkah? Apakah Mas Dhika janji?” kata ku dengan secerca harapan di hati ku.
“Tentu saja. Aku tak akan membiarkan mereka melukai mu. Karna aku mencintaimu” kata-kata Dhika benar-benar mengejutkan ku. Tiga kata yang di ucapkan pelan tetapi bisa membuat hati ku bergemuruh. Tiga kata yang di ucapkan lembut, tapi mampu meninju jantung ku untuk berdebar sepuluh kali lebih keras. Ia memegang pipi ku lembut.
“Sekarang, dengarkan penjelasan ku. Jika bertarung, pakai dua jurusan saja. Aku sarankan pakai tendangan sabit dan tangkisan atas atau bawah. Jangan berhenti menyerang. Dan jangan biarkan dia menyentuh sabuk mu. Kita datang bersama agar aku bisa menolong mu setalah lawan ku selesai. Jika keadaan darurat, lemparkan pasir ke arah mata mereka, lalu lari secepat mungkin” kata Dhika mengakhiri penjelasanya. Kini aku rasa takut ku sudah berkurang. Tapi bagi ku lebih baik lewat kuburan lagi dari pada melewati pemabantaian. Setelah itu kami berjalan ke arah perahu yang berada di pinggir laut. Saat aku melewatinya, sudah banyak orang di sana. Semuanya menggunakan topeng hitam dan baju hitam-hitam. Sangat berbeda dengan baju seragam Merpati Putih ku yang berwarna putih-merah.
“Loh,,loh,,loh,, siapa yang membiarkan mu jalan berdua? Pacaran ya?!” kata salah seorang dari antara mereka dengan nada mengejek dan meremehkan. Aku hanya terdiam dan menunduk.
“Karna mereka datang berpasangan, kita buat mereka berdua bertarung melawan tujuh orang. Jika kamu dapat menjatuhan kami semua sekali saja, berarti kami mundur. Kalian menang jika kalian bisa menjatuhkan kami bertujuh. Sekarang pilih di antara kami bersepuluh, pilih tuhuh orang yang akan kamu lawan” katanya kasar. Kami berpandangan sejenak.
“Aku pilih ini, yang ini, ini..” mas Dhika menunjuk dengan hati-hati orang-orang yang terlihat lemah agar mudah di kalahkan.
“CUKUP!! Sekarang kalian bertiga awasi pertarunagn kami” kata mereka. Ternyata yang Dhika inginkan untuk menjadi lawannya adalah orang yang tidak ia lawan. Malahan yang tujuh itu kami lawan berdua.
Dengan cepat kami memasang sikap kuda-kuda. Empat orang mengelilingi Dhika, dan tiga orang sisanya mengelilingi ku. Belum sempat aku menangkis, ia menendang perut ku. Aku bangkit dan mencoba menendang. Dengan sekali tedangan sabit aku mengenai dadanya. Ku maju dan terus menendang. Aku tangkis seluruh tendangan yang menghujamku. Sedangkan Dhika dari jauh ku lihat sangat lihai menghadapi ke empat lawannya. Dengan jurus guntingan, satu orang berhasil jatuh dan mundur. Aku masih gelagapan menghadapi ke tiga lawan ku yang tidak kalah tangguh dari ku. Ia menyeret sabuk ku, tapi karna aku mengikatnya dengan kuat, ia tak bisa menariknya. Salah satu menyeret ku ke air lalu berasil menceburkan ku. Dengan jurusan totokan salah satu lawan ku gugur.
Mereka tetap menghujani ku dengan tendangan yang sangat berpower. Ku rasakan seluruh badan ku nyeri. Tapi aku tak mau mundur. Aku terus menendang dan menangkis, walaupun sulit untuk menjatuhkan mereka karna berada dalam air. Salah satunya mencelupkan kepala ku ke air. Dadaku sesak dan aku meronta sekuat tenaga. Sedangkan Dhika sudah berhasil melumpuhkan tiga orang. Saat ia lihat aku sudah di celup kan dalam air, dari sela-seka siksaan yang aku terima aku lihat Dhika berlari ke arah ku dan menendang orang yang mencelupkan kepala ku. Melihat ku sudah lemas. Ia angkat aku ke darat, tak peduli ia di serang dengan dua orang di belakan nya. Aku terbatuk-batuk tanpa henti. Setelah aku bisa mengatur nafas sejenak aku bangkit karena tak tega melihat Dhika yang sudah kualahan menghadapi mereka. Setelah memusatkan kekuatan, ku tendang punggung lawan, maka sekali tendangan dia jatuh tersungkur. Tiba-tiba dari arah belakang Dhika langsung jatuh ke dalam air karena mengenai tendangan satu lawanya yang masih bertahan. Dengan cepat kami bertindak dan saling membatu. Dari samping ku tarik baju lawan hingga ia terjatuh dan ku pukul keras dengan pukulan bayangan. Kami berhasil mengalahkanya. Dengan sisa tenang yang tersisa kami berjalan pelan ke arah ketiga orang yang sejak tadi hanya melihat kami bertarung.
“Selamat untuk kalian berdua. Dengan berhasilnya kalian mempertahankan sabuk masing-masing, maka tugas kalian sukses. Silahkan lanjutkan perjalanan kalian ke ujung sana. Dan beristirahatlah hingga prosesi pelantikan nanti.” katanya sambil tersenyum. Aku memandangi Dhika.
“Thanks ya, karna selalu ada untuk ku” kata ku mencoba untuk jujur.
“Aku yang berterima kasih karna bisa mengenal mu. Aku ingin menjaga mu seperti menjaga diriku sendiri” Ia menariku ke sisinya lalu mendekap ku hangat. Kamipun berjalan bergandengan sambil melepas lelah. Tanpa menyadari di balik kegelapan pagi itu akan ada cahaya kemerahan yang siap mengiringi kemunculan matahari pagi yang hangat. Bersamaan dengan munculnya cinta di antara kami. Awal yang indah selalu di akhiri dengan indah. Itulah yang terjadi padaku kali ini. Semoga kami bisa menjaga cinta di antara kami. Seperti kesetiaan kami kepada MERPATI PUTIH..
~TAMAT~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar